28 Sep 2011

Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S-1965


Semenjak kemerdekaan, Indonesia sudah menjadi ladang operasi intelejen dari berbagai negara. Jaringan yang cukup berpengaruh adalah M-16 dari Inggris dan CIA dari AS di samping intelejen RRC dan KGB-nya Uni Soviet. Semua jaringan intelejen ini bekerja di bidang pengawasan, pengaruh, pengarahan operasi, sampai pengambilalihan kekuasaan di tahun 1965 dari Presiden Soekarno oleh Soeharto yang dilandasi dengan satu kepentingan yang pembuktiannya hanya bisa dilihat dalam kelanjutan setelah kudeta 1965.Kelanjutannya adalah pembantaian massal, pelarangan ideologi komunis, soekarnois dan PKI, dan semua partai maupun organisasi masyarakat yang dekat dengan Soekarno.





Bagaimanapun, kejatuhan Soekarno dari kepemimpinan nasional sebagai presiden pertama RI tetap merupakan misteri sejarah. Namun, rentetan peristiwa setelah kejatuhan Soekarno membuktikan peristiwa tersebut terencana sangat matang dan canggih.Sebuah dokumen operasi Intelejen CIA 1964 – 1966 yang lengkap dari Amerika Serikat telah dibuka pada publik internasional. Dokumen tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan sebagai salah satu bahan untuk meluruskan sejarah yang selama ini terdistorsi kepentingan Orde Baru.

Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno memainkan peranan penting dalam kancah perang dingin antara blok Barat yang dipimpin AS dan blok Timur yang terdiri dari negara-negara sosialis. Kepemimpinan Indonesia terlihat dalam menggalang kekuatan internasional dalam Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok maupun NEFO (New Emerging Forces) sebagai garis politiknya untuk menghadapi imperialisme dengan OLDEFO. Dokumen CIA yang sebelumnya merupakan dokumen rahasia yang berisi sejumlah informasi penting seputar peristiwa tersebut kini telah terbuka untuk publik.

Penerbit Hasta Mitra yang dipimpin Joesoef Isak dan selama ini dikenal sebagai penerbit karya-karya Pramudya Ananta Toer, menerbitkan terjemahaan dokumen CIA itu dalam sebuah buku yang berjudul Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S-1965. Mengomentari buku ini, Letjen (purn) Agus Widjojo mengatakan kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa ia merupakan dokumen otentik yang menggambarkan kepentingan negara adidaya dalam situasi Perang Dingin. “Pada masa itu ideologi adalah panglima, sehingga dinamikanya antara Barat dan Timur. Namun, faktor intern dalam negerilah yang menentukan terjadinya peristiwa 1965,” ujar putra almarhum Jenderal Soetojo, yang menjadi salah seorang korban peristiwa Gerakan 30 September 1965. Agus menegaskan secara umum teori pertentangan antara sipil yang dipimpin Soekarno dan PKI berhadapan dengan sebagian TNI-AD adalah faktor internal yang menjadi titik lemah bagi masuknya kepentingan konflik perang dingin, dalam hal ini Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Cina, yang bukan kebetulan dimenangkan oleh Amerika yang mewakili Barat.

Karena itu, Agus Widjojo mengingatkan, bila kita bercermin pada kejadian tahun 1965 itu, dalam situasi krisis multidimensi dan ancaman disintergrasi yang dialami oleh bangsa Indonesia pada saat ini, pilihannya hanyalah melakukan konsolidasi dalam satu rekonsiliasi yang pasti, atau hancur berkeping-keping dalam perang saudara dan intervensi asing di bidang ekonomi maupun politik.

Keterlibatan Rusia dan RRC
Mengomentari buku yang akan diluncurkan itu, mantan aktivis angkatan 66 dan Forum Demokrasi, Rahman Toleng, berharap agar jangan cuma keterlibatan CIA saja yang dilihat pada waktu persitiwa 1965 tersebut. Dia juga mengindikasikan keterlibatan agen-agen RRC dan Rusia di belakang peristiwa tersebut. Mantan Wakil Ketua MPRS, pada tahun 1966, Mayjen (Pur) Abdul Kadir Besar, mengingatkan faktor di dalam negeri juga berperan seperti pernyataan Anwar Sanusi (anggota CC PKI/Anggota Front Nasional) sebelum peristiwa 30 September 1965, bahwa ibu pertiwi sedang hamil tua. “Itu merupakan sebuah tanda akan terjadi kejadian besar tersebut. Oleh karena itu, data-data dari dalam negeri pun juga harus dijadikan pembanding dokumen CIA tersebut,” ujarnya.

Dalam pandangan Abdul Kadir, PKI punya rencana 4 tahunan dalam demokrasi parlementer-terpimpin ala Soekarno yang yakin akan menang dalam Pemilu. Namun karena peringatan dokter-dokter Cina tentang gawatnya penyakit Soekarno, PKI khawatir TNI AD akan mendahului merebut kekuasaan. “Oleh karenanya, PKI mendahului dengan G30S-nya,” jelasnya.

Dokumen Gilchrist
Untuk membaca dokumen CIA ini mungkin dibutuhkan satu latar belakang historis. Seorang purnawirawan perwira tinggi TNI-AD berusaha mendudukkan alur secara kronologis. Dalam pandangannya, peristiwa 1965 dipicu oleh sebuah dokumen yang bernama Dokumen Gilchrist. Gilchrist—duta besar Inggris pada waktu itu—sebagai pelaksana operasi intelejen Inggris dan AS, mengeluarkan dokumen yang berisikan situasi palsu tentang konsolidasi TNI-AD, yang disebutnya sebagai Dewan Jenderal. Dokumen ini yang dibawa oleh Chaerul Saleh, tokoh Partai Murba ke Soekarno, Subandrio, dan akhirnya Adit.

Dalam sebuah pesta sebelumnya di Eropa, Gilchrist pernah berkata bahwa satu kali tembakan akan mengubah Indonesia. Belakangan baru terungkap, sekretaris dubes Inggris-lah yang mempersiapkan skenario operasi anti-PKI dengan isu amoral, asusila, dan anti-agama yang kemudian dilansir ke sejumlah koran Ibu Kota seperti Merdeka, Berita Yudha, dan Angkatan Bersenjata. Hal ini terungkap karena ada satu dokumen telegram kampanye dengan isu tersebut ke redaksi Merdeka. Menurut sumber itu, menanggapi situasi yang digambarkan Dokumen Gilchrist, Soekarno memerintahkan untuk segera mengatasi persoalan ini. Kolonel Soeparjo dan Kolonel Mursid kemungkinan menolak yang kemudian jatuh ke Letkol Untung sebagai pelaksana G30S. Kalau benar DN Aidit ingin melakukan revolusi dari atas, langkah itu keliru karena dia tidak melibatkan jajaran TNI yang berpihak ke PKI, dan harus diingat Letkol Untung ternyata bukan dari kalangan tersebut.

Operasi Pembasmian
Ada hal menarik dalam buku itu, seperti daftar nama 500-an pemimpin PKI yang dikeluarkan oleh CIA dan disampaikan lewat Adam Malik ke TNI-AD yang berbobot perintah operasi pembasmian secara cepat agar PKI benar-benar lumpuh rantai komandonya. Hanya dengan operasi cepat inilah AS percaya dapat melumpuhkan PKI dan dapat menaikkan moral TNI-AD untuk melawan Soekarno dan PKI. Hanya sedikit perwira yang memiliki keberanian dan pengalaman melawan Soekarno, yaitu mereka yang terlibat di PRRI dan Permesta semacam Zulkifli Lubis, Vence Sumual, Kawilarang, dan tentu saja Kemal Idris.

Aktivis buruh Dita Indah Sari mengomentari bahwa dokumen-dokumen dalam buku ini memang membuktikan pendanaan dari pemerintah AS yang dijalankan oleh CIA adalah untuk operasi penggulingan Soekarno. Hal ini didahului oleh tindakan mata-mata terhadap semua kegiatan dan keputusan Soekarno, terutama sehubungan dengan konfrontasi dengan Malaysia dan pengiriman relawan ke Malaysia.Hal-hal itu terungkap dalam semua dokumen percakapan telepon, telegram, maupun surat rahasia pejabat-pejabat AS baik di Amerika maupun di Indonesia seperti: Lindon Johnson (Presiden AS), Dean Rusk (Menteri Luar Negeri), Mc Namara (Menteri Pertahanan), Howard Jones (Dubes AS di Indonesia), V. Forrestal (Staf Dewan Keamanan Nasional), Mc George Bundy (Assisten Khusus Presiden Urusan Keamanan).

Seperti yang tertuang dalam halaman 156-158: Memorandum dipersiapkan CIA untuk State Department (dari Colby untuk Bundy) 18 September 1964 tentang prospek untuk aksi tersembunyi …di antara mereka beberapa telah menunjukkan kemampuan melakukan kegiatan politik tersembunyi meskipun terbatas namun efektif. Lebih jauh ada terdapat sejumlah pendekatan ke kedutaan dan komponen misi lainnya oleh individu-individu—beberapa untuk kepenitngan diri sendiri, yang lain adalah untuk mencari bantuan agar mereka mampu melawan komunisme di Indonesia…untuk itu kami mengajukan sebuah program aksi tersembungi yang intensifterbatas pada tujuan awalnya, tapi dirancang untuk ekspansi jika situasi mengijinkan.

Konteks Perang Dingin
Mengenai pengungkapan berbagai dokumen itu, James D. Vilgo, seorang pensiunan Letnan Kolonel AS, menegaskan bahwa dokumen tersebut harus ditempatkan pada konteksnya, yaitu masa Perang Dingin, di mana intelejen AS memang bekerja secara ofensif. “Situasi politik sekarang sudah berbeda, Kongres dan Senat AS justru mengontrol semua kegiatan militer dan intelejen AS, agar tidak bekerja terlalu jauh. Dokumen ini adalah salah satu bukti kontrol yang membuka semua operasi intelejen AS, sama seperti dokumen yang bersangkutan dengan Indocina, Chili, dan ope-rasi di berbagai tempat lainnya.

Justru transparansi ini seharusnya diikuti oleh Indonesia yang sedang dalam masa transisi sekarang,” ujarnya.Lebih lanjut ia mengatakan bahwa data-data dari AS ini seharusnya dilengkapi dengan data-data dokumen yang dikeluarkan oleh pihak Indonesia sendiri agar masyarakat tahu sebenarnya apa yang terjadi dan menjadi pelajaran agar tidak terulang lagi. Dalam era reformasi sekarang ini, ujarnya, yang terpenting adalah sebuah usaha untuk mengubah paradigma, terutama dalampendidikan sejarah yang harus seobjektif mungkin.

Sebuah komite penyelidikan dapat dibentuk oleh sipil dan melibatkan intelektual dalam dan luar negeri untuk memberikan masukan pada MPR/DPR, sehingga punya kekuatan seperti Kongres dan Senat AS.Dalam pandangannya, soal keterlibatan AS, tidak bisa dilihat secara sepihak karena sebenarnya yang berpengaruh adalah situasi dalam negeri pada waktu itulah yang mengkhawatirkan AS. Posisi AS adalah peninjau yang terlibat kemudian.

Cuci Tangan
Namun Dr. Salim Said, menegaskan bahwa penerjemahan dan penerbitan buku ini jangan menjadi ajang cuci tangan PKI terhadap peristiwa 1965. Memang Amerika terlibat, tapi aspek-aspek lain juga di luar Amerika harus diperhitungkan, jelas buku ini diterbitkan oleh Hasta Mitra supaya menjernihkan persoalan terutama, soal keterlibatan AS, jangan malahan menjadikannya semakin kabur.Joesoef Isak sendiri menegaskan dalam pengantarnya bahwa penerbitan buku ini sama sekali tidak bermaksud membangkitkan kemarahan rakyat Indonesia kepada dunia Barat.“Kita sepenuhnya sadar bahwa juga di dunia barat maupun di Amerika terdapat cukup banyak unsur-unsur The New Emerging Forces dalam semua tingkatan kehidupan mereka yang sama-sama mendambakan persahabatan dan perdamaian di dunia ini.

Sebaliknya kita juga sadar, bahwa kekuatan besar The Old Established Forces masih kuat bercokol dan mengacau rumah tangga kita sendiri,” ujarnya.Ia melanjutkan bahwa itulah sebabnya globalisasi ekonomi-politik dan globalisasi intelejen yang berwatak destruktif bagi kemanusiaan, keadilan yang beradab, dan perdamaian bumi manusia, mutlak juga harus dihadapi dengan kerja sama dan penggalangan globalisasi solidaritas The New Emerging Forces sedunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar