Semenjak kemerdekaan, Indonesia sudah menjadi ladang operasi intelejen dari berbagai negara. Jaringan yang cukup berpengaruh adalah M-16 dari Inggris dan CIA dari AS di samping intelejen RRC dan KGB-nya Uni Soviet. Semua jaringan intelejen ini bekerja di bidang pengawasan, pengaruh, pengarahan operasi, sampai pengambilalihan kekuasaan di tahun 1965 dari Presiden Soekarno oleh Soeharto yang dilandasi dengan satu kepentingan yang pembuktiannya hanya bisa dilihat dalam kelanjutan setelah kudeta 1965.Kelanjutannya adalah pembantaian massal, pelarangan ideologi komunis, soekarnois dan PKI, dan semua partai maupun organisasi masyarakat yang dekat dengan Soekarno.
Bagaimanapun, kejatuhan Soekarno dari kepemimpinan nasional sebagai presiden pertama RI tetap merupakan misteri sejarah. Namun, rentetan peristiwa setelah kejatuhan Soekarno membuktikan peristiwa tersebut terencana sangat matang dan canggih.Sebuah dokumen operasi Intelejen CIA 1964 – 1966 yang lengkap dari Amerika Serikat
telah dibuka pada publik internasional. Dokumen tersebut telah
diterjemahkan dan diterbitkan sebagai salah satu bahan untuk meluruskan
sejarah yang selama ini terdistorsi kepentingan Orde Baru.
Indonesia
di bawah kepemimpinan Soekarno memainkan peranan penting dalam kancah
perang dingin antara blok Barat yang dipimpin AS dan blok Timur yang
terdiri dari negara-negara sosialis. Kepemimpinan Indonesia terlihat
dalam menggalang kekuatan internasional dalam Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok maupun NEFO (New
Emerging Forces) sebagai garis politiknya untuk menghadapi imperialisme
dengan OLDEFO. Dokumen CIA yang sebelumnya merupakan dokumen rahasia
yang berisi sejumlah informasi penting seputar peristiwa tersebut kini
telah terbuka untuk publik.
Penerbit Hasta Mitra yang dipimpin Joesoef Isak
dan selama ini dikenal sebagai penerbit karya-karya Pramudya Ananta
Toer, menerbitkan terjemahaan dokumen CIA itu dalam sebuah buku yang
berjudul Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S-1965. Mengomentari buku ini, Letjen (purn) Agus Widjojo mengatakan
kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa ia merupakan dokumen otentik
yang menggambarkan kepentingan negara adidaya dalam situasi Perang
Dingin. “Pada masa itu ideologi adalah panglima, sehingga
dinamikanya antara Barat dan Timur. Namun, faktor intern dalam negerilah
yang menentukan terjadinya peristiwa 1965,” ujar putra almarhum
Jenderal Soetojo, yang menjadi salah seorang korban peristiwa Gerakan 30
September 1965. Agus menegaskan secara umum teori pertentangan antara
sipil yang dipimpin Soekarno dan PKI berhadapan dengan sebagian TNI-AD adalah faktor internal yang menjadi titik lemah bagi masuknya kepentingan konflik perang dingin, dalam hal ini Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Cina, yang bukan kebetulan dimenangkan oleh Amerika yang mewakili Barat.
Karena
itu, Agus Widjojo mengingatkan, bila kita bercermin pada kejadian tahun
1965 itu, dalam situasi krisis multidimensi dan ancaman disintergrasi
yang dialami oleh bangsa Indonesia pada saat ini, pilihannya hanyalah
melakukan konsolidasi dalam satu rekonsiliasi yang pasti, atau hancur
berkeping-keping dalam perang saudara dan intervensi asing di bidang
ekonomi maupun politik.
Keterlibatan Rusia dan RRC
Mengomentari buku yang akan diluncurkan itu, mantan aktivis angkatan 66 dan Forum Demokrasi, Rahman Toleng,
berharap agar jangan cuma keterlibatan CIA saja yang dilihat pada waktu
persitiwa 1965 tersebut. Dia juga mengindikasikan keterlibatan
agen-agen RRC dan Rusia di belakang peristiwa tersebut. Mantan Wakil
Ketua MPRS, pada tahun 1966, Mayjen (Pur) Abdul Kadir Besar,
mengingatkan faktor di dalam negeri juga berperan seperti pernyataan
Anwar Sanusi (anggota CC PKI/Anggota Front Nasional) sebelum peristiwa
30 September 1965, bahwa ibu pertiwi sedang hamil tua. “Itu
merupakan sebuah tanda akan terjadi kejadian besar tersebut. Oleh karena
itu, data-data dari dalam negeri pun juga harus dijadikan pembanding
dokumen CIA tersebut,” ujarnya.
Dalam pandangan Abdul
Kadir, PKI punya rencana 4 tahunan dalam demokrasi parlementer-terpimpin
ala Soekarno yang yakin akan menang dalam Pemilu. Namun karena
peringatan dokter-dokter Cina tentang gawatnya penyakit Soekarno, PKI
khawatir TNI AD akan mendahului merebut kekuasaan. “Oleh karenanya, PKI
mendahului dengan G30S-nya,” jelasnya.
Dokumen Gilchrist
Untuk
membaca dokumen CIA ini mungkin dibutuhkan satu latar belakang
historis. Seorang purnawirawan perwira tinggi TNI-AD berusaha
mendudukkan alur secara kronologis. Dalam pandangannya, peristiwa 1965
dipicu oleh sebuah dokumen yang bernama Dokumen Gilchrist. Gilchrist—duta besar Inggris pada waktu itu—sebagai pelaksana operasi intelejen Inggris dan AS, mengeluarkan dokumen yang berisikan situasi palsu tentang konsolidasi TNI-AD, yang disebutnya sebagai Dewan Jenderal. Dokumen ini yang dibawa oleh Chaerul Saleh, tokoh Partai Murba ke Soekarno, Subandrio, dan akhirnya Adit.
Dalam
sebuah pesta sebelumnya di Eropa, Gilchrist pernah berkata bahwa satu
kali tembakan akan mengubah Indonesia. Belakangan baru terungkap, sekretaris dubes Inggris-lah yang mempersiapkan skenario operasi anti-PKI dengan isu amoral, asusila, dan anti-agama yang
kemudian dilansir ke sejumlah koran Ibu Kota seperti Merdeka, Berita
Yudha, dan Angkatan Bersenjata. Hal ini terungkap karena ada satu
dokumen telegram kampanye dengan isu tersebut ke redaksi Merdeka.
Menurut sumber itu, menanggapi situasi yang digambarkan Dokumen
Gilchrist, Soekarno memerintahkan untuk segera mengatasi persoalan ini.
Kolonel Soeparjo dan Kolonel Mursid kemungkinan menolak yang kemudian
jatuh ke Letkol Untung sebagai pelaksana G30S. Kalau
benar DN Aidit ingin melakukan revolusi dari atas, langkah itu keliru
karena dia tidak melibatkan jajaran TNI yang berpihak ke PKI, dan harus
diingat Letkol Untung ternyata bukan dari kalangan tersebut.
Operasi Pembasmian
Ada hal menarik dalam buku itu, seperti daftar nama 500-an pemimpin PKI yang dikeluarkan oleh CIA dan disampaikan lewat Adam Malik ke TNI-AD yang
berbobot perintah operasi pembasmian secara cepat agar PKI benar-benar
lumpuh rantai komandonya. Hanya dengan operasi cepat inilah AS percaya
dapat melumpuhkan PKI dan dapat menaikkan moral TNI-AD untuk melawan
Soekarno dan PKI. Hanya sedikit perwira yang memiliki keberanian dan
pengalaman melawan Soekarno, yaitu mereka yang terlibat di PRRI dan
Permesta semacam Zulkifli Lubis, Vence Sumual, Kawilarang, dan tentu saja Kemal Idris.
Aktivis buruh Dita Indah Sari mengomentari bahwa dokumen-dokumen dalam buku ini memang membuktikan pendanaan dari pemerintah AS yang dijalankan oleh CIA adalah untuk operasi penggulingan Soekarno. Hal
ini didahului oleh tindakan mata-mata terhadap semua kegiatan dan
keputusan Soekarno, terutama sehubungan dengan konfrontasi dengan
Malaysia dan pengiriman relawan ke Malaysia.Hal-hal itu terungkap dalam
semua dokumen percakapan telepon, telegram, maupun surat rahasia
pejabat-pejabat AS baik di Amerika maupun di Indonesia seperti: Lindon Johnson (Presiden AS), Dean Rusk (Menteri Luar Negeri), Mc Namara (Menteri Pertahanan), Howard Jones (Dubes AS di Indonesia), V. Forrestal (Staf Dewan Keamanan Nasional), Mc George Bundy (Assisten Khusus Presiden Urusan Keamanan).
Seperti yang tertuang dalam halaman 156-158: Memorandum dipersiapkan CIA untuk
State Department (dari Colby untuk Bundy) 18 September 1964 tentang
prospek untuk aksi tersembunyi …di antara mereka beberapa telah
menunjukkan kemampuan melakukan kegiatan politik tersembunyi meskipun
terbatas namun efektif. Lebih jauh ada terdapat sejumlah pendekatan ke
kedutaan dan komponen misi lainnya oleh individu-individu—beberapa untuk
kepenitngan diri sendiri, yang lain adalah untuk mencari bantuan agar
mereka mampu melawan komunisme di Indonesia…untuk itu kami mengajukan
sebuah program aksi tersembungi yang intensif, terbatas pada tujuan awalnya, tapi dirancang untuk ekspansi jika situasi mengijinkan.
Konteks Perang Dingin
Mengenai pengungkapan berbagai dokumen itu, James D. Vilgo,
seorang pensiunan Letnan Kolonel AS, menegaskan bahwa dokumen tersebut
harus ditempatkan pada konteksnya, yaitu masa Perang Dingin, di mana
intelejen AS memang bekerja secara ofensif. “Situasi politik sekarang
sudah berbeda, Kongres dan Senat AS justru mengontrol semua kegiatan
militer dan intelejen AS, agar tidak bekerja terlalu jauh. Dokumen ini
adalah salah satu bukti kontrol yang membuka semua operasi intelejen AS,
sama seperti dokumen yang bersangkutan dengan Indocina, Chili, dan
ope-rasi di berbagai tempat lainnya.
Justru transparansi ini seharusnya diikuti oleh Indonesia yang sedang dalam masa transisi sekarang,”
ujarnya.Lebih lanjut ia mengatakan bahwa data-data dari AS ini
seharusnya dilengkapi dengan data-data dokumen yang dikeluarkan oleh
pihak Indonesia sendiri agar masyarakat tahu sebenarnya apa yang terjadi
dan menjadi pelajaran agar tidak terulang lagi. Dalam era reformasi
sekarang ini, ujarnya, yang terpenting adalah sebuah usaha untuk
mengubah paradigma, terutama dalampendidikan sejarah yang harus seobjektif mungkin.
Sebuah
komite penyelidikan dapat dibentuk oleh sipil dan melibatkan
intelektual dalam dan luar negeri untuk memberikan masukan pada MPR/DPR,
sehingga punya kekuatan seperti Kongres dan Senat AS.Dalam
pandangannya, soal keterlibatan AS, tidak bisa dilihat secara sepihak
karena sebenarnya yang berpengaruh adalah situasi dalam negeri pada
waktu itulah yang mengkhawatirkan AS. Posisi AS adalah peninjau yang
terlibat kemudian.
Cuci Tangan
Namun Dr. Salim Said, menegaskan
bahwa penerjemahan dan penerbitan buku ini jangan menjadi ajang cuci
tangan PKI terhadap peristiwa 1965. Memang Amerika terlibat, tapi
aspek-aspek lain juga di luar Amerika harus diperhitungkan, jelas buku
ini diterbitkan oleh Hasta Mitra supaya menjernihkan persoalan terutama,
soal keterlibatan AS, jangan malahan menjadikannya semakin
kabur.Joesoef Isak sendiri menegaskan dalam pengantarnya bahwa
penerbitan buku ini sama sekali tidak bermaksud membangkitkan kemarahan
rakyat Indonesia kepada dunia Barat.“Kita sepenuhnya sadar bahwa juga di
dunia barat maupun di Amerika terdapat cukup banyak unsur-unsur The New
Emerging Forces dalam semua tingkatan kehidupan mereka yang sama-sama
mendambakan persahabatan dan perdamaian di dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar